Rabu, 03 Agustus 2011

Bocah Sebatang Kara

Seorang penyair arab pernah menulis demikian :

AKu menangis karena tak memiliki sepatu
Namun aku berhenti menangis saat ku lihat orang yang kehilangan kaki

Sebuah syair sederhana
Tapi mengharukan sekaligus mencerahkan

A Child in a War
Mungkin dalam hidup ada kalanya kita mengeluh.. tidak sering.. tapi pernah..

Seperti desiran batin yang mengguratkan keluhan.
Jika desiran batin itu diterjemahkan kedalam bahasa maka maknanya adalah :

"aduh kenapa hidupku sedemikian malang"

Tak bisa disalahkan memang.. kita manusia memang sudah dari pabriknya terinstal sifat gampang berkeluh kesah.. Dalam Al-Ma'aarij : 19-21 tersirat jelas sifat natural kita.. insan manusia. Seperti apa terjemahan kalamullah tersebut? Baca Qur'an sendiri-sendiri aja di rumah.. :P

Namun satu hal yang mungkin dapat membuat kita malu..
Saat Keluhan kita mungkin membuat air mata ini meleleh, dan entah kenapa imajinasi kita melayang dan membangun lukisan diri bahwa kita adalah orang yang sangat malang. Realitas di dunia justru menunjukkan bahwa kondisi yang kita keluhkan itu sebenarnya surga bagi sebagian orang.

Paling tidak bagi bocah asal negeri Kungfu Panda berada, China.

Perkenalkan.. bocah ini baru saja menjadi guru kehidupan saya beberapa saat yang lalu..

A Long namanya.



Ibunya meninggal saat melahirkannya. Ia terlahir mengidap virus HIV turunan ibunya. Ayahnya tak lama menemaninya.. singkat sekali, belum ada lima tahun ayahnya menyusul ibunya. Tinggallah ia sebatang kara..

Ya.. bayi di bawah lima tahun tinggal sebatang kara di sebuah gubug di kaki gunung di daerah Guangxi Zhuang. Di usia sekecil itu dia tak mengenal apa itu kasih sayang, apa itu perhatian, dan apa itu persahabatan. Bahkan dia tak tahu kenapa dia hidup.. Yang pasti adalah dia harus bertahan dan berjuang hidup. Sendiri..

Satu-satunya keluarganya adalah neneknya yang usianya sangat lanjut, 84tahun. Tapi ia tak mau tinggal bersama A Long, alasannya takut terkena HIV (ya ampun nek.. kamu kan tinggal nunggu dipanggil aja, pakai takut segala :P). Mungkin karena usia, neneknya tak tahu bahwa kita bisa hidup berdampingan dengan pengidap HIV dengan aman. Para penduduk desa? Oh mereka semua kompak mengucilkannya. Sama, tak ada yang mau dekat-dekat dengan pengidap HIV, hidup sudah susah begini, kalau kena HIV, ya apa coba kata dunia? begitu benak mereka. Tega nian.. Tapi untungnya pemerintah desa tidak setega itu, mereka mau menyantuni per bulan-nya. Berapa kira-kira santunannya? 77 Yuan atau setara Rp.133.000,-/bulan. Kalau dibagi 1 bulan maka Rp.4.433 per hari.

Besar atau kecil? Silakan dinilai sendiri. Tega? Untuk ukuran nurani anda bagaimana?

Neneknya mencoba mendaftarkannya sekolah, tetapi begitu tahu bocah ini pengidap HIV, semua wali murid serempak mengusirnya. Teman-temannya? Sama, melihat A Long seperti monster yang harus dijauhi.. Tentu karena bisikan dan pengaruh orang tua mereka. Ada beberapa yang ingin mengadopsi, tapi mundur saat tahu ia mengidap HIV.

Jadi tinggallah ia sendirian di rumah yang mirip gubuk, ditemani oleh Lao Hei. Siapa dia? Yang jelas dia tidak bisa berbicara, sekujur tubuhnya ditumbuhi rambut, kakinya ada empat, dari Canis Familiaris. Yaitu seekor anjing. Ya meskipun bagi kita anjing itu najis, tapi menurut saya dia lebih bermartabat dibanding kelakuan orang-orang desa.

Lalu sehari-harinya selama beberapa tahun bocah mungil itu berjuang hidup sendiri. Tidur di dingin dan kegelapan malam sendirian, harus mau berkeliling sendiri di sekitar kaki gunung untuk mencari kayu sebagai bahan bakar, kalau makan, ya harus menyalakan api sendiri dan memasak sendiri, masak apa? Sayuran. Itu pun dia harus tanam sendiri di samping rumah, kadang neneknya datang membawa sayuran dan beras, setelah itu pulang. Bocah kecil memasak? bagaimana rasanya? Yaah.. jangan ditanya..yang penting ada yang masuk ke perut.

Di saat siang, A Long bermain dengan anjingnya sendiri, mengejar-ngejar ayam sendiri, mencuci bajunya sendiri, berbicara sendiri, dan yang menakjubkan ia belajar membaca, sendirian. Saat kesepian sudah memuncak, terkadang ia berkunjung ke tepian desa duduk di pinggir jalan, diam membisu dan matanya melongo mengamati orang-orang berlalu lalang. Hanya memandang saja, tidak berbicara dan tidak menegur sapa, cukuplah itu menjadi hiburan. Kadangkala ia melongok ke pekarangan tetangga, dan kalau ia beruntung, tetangga yang iba memberinya beras dan sayuran.

Di kala senja tiba,sendirian A Long mendatangi gubuknya, merebahkan diri ke dipan dan tidur seorang diri ditemani sepi dan gelapnya malam, menunggu fajar datang untuk kembali menikmati hari dengan bersenang-senang dengan satu-satunya teman sejatinya, Lao Hei, si anjing kesayangannya.

Pernah suatu waktu si kecil tangannya terbakar, terluka lumayan. Mau menangis? Mengeluh? tapi sama siapa?
Sempat ia di bawa ke klinik di desa sebelah. Tapi reputasi HIV A Long membuatnya mendapat perlakuan "istimewa". Ia diberi obat salep antiseptik, tanpa perawatan dokter atau perawat, A Long sendiri yang mengolesi dan mengobati lukanya itu seorang diri.

Yang membuat saya trenyuh adalah A long sangat tegar. Lihat saja wajahnya, tak ada sedikitpun guratan keluh kesah, tak ada raut penyesalan. Tidak seperti saya.. Cengeng!

Hingga usia 6 tahun ia menjalani hidup terkucil seperti itu. Tanpa mengeluh dan tanpa memaki-maki nasib. Hingga akhirnya takdir mempertemukannya dengan orang-orang yang membawa foto-foto hidupnya sehari-hari. Orang-orang yang memiliki kedermawanan datang untuk mengulurkan bantuan, membuatkannya rumah yang lebih layak dan mengirimkan makanan secara rutin.

Kabar terakhir A Long dibawa sepasang suami isteri dan saat ini tinggal di rumah amal.

Happy ending?

Walaupun ia saat ini hidup lebih layak, tetapi ia tetap penderita HIV. Dan kerasnya perlakuan orang terhadap penderita HIV masih harus dihadapi A Long kelak. Dan ia tetap seorang anak tanpa sanak keluarga dan tak pernah mencicipi kasih sayang seorang bunda.

Kisah A Long mungkin membuat hati setiap orang yang membaca kisahnya mengharu biru.. tapi diluaran sana masih banyak A long yang lain. Dan mungkin yang tidak terjamah media ada banyak pula. Yang akhirnya mati di pinggir jalan dan disemayamkan bagai pemakaman kucing, dikubur lalu di tinggal pergi begitu saja juga tidak sedikit.

Jadi kawan..

Berbisiklah kepadaku, apakah saat ini hatimu rasanya seperti "berhenti menangis saat tak punya sepatu karena melihat orang yang tak punya kaki ?"


Tidak ada komentar:

Posting Komentar