Selasa, 02 Agustus 2011

Bersahaja

Saya pernah bertemu dengan orang yang menggunakan mobil mewah, tinggal di rumah elit dan selalu menggunakan busana bermerek. Ia mengajak saya makan di restoran mewah. Tapi, asal Anda tahu, ia tak mampu membayar hutang yang hanya Rp 40 juta. Ia mengajak makan di restoran pun karena hendak meminjam uang kepada saya.

Saya meminjaminya uang? Tidak. Dengan tegas saya katakan, “Jual mobilmu saja, gantilah dengan mobil yang lebih sederhana agar kamu bisa membayar hutangmu.”

“Hah! Menjual mobil, apa kata dunia?” jawabnya.
Kompasiana
 Rupanya ia memiliki banyak kekhawatiran bila hidupnya sederhana. Ia khawatir ditinggal mitra bisnisnya, tidak mendapat penghormatan dari orang lain dan sulit masuk pergaulan orang-orang elit. Menurut saya, orang yang seperti ini mempersulit hidupnya. Dalam jangka panjang justru dia akan kehilangan mitra bisnis dan penghormatan dari orang lain.

Sebenarnya hidup itu simpel. Sayang banyak yang membuatnya jadi rumit. Masalah yang solusinya sederhana dibuat ruwet agar telihat hebat. Semoga Anda tidak begitu. Karena, percayalah, hidup seperti itu hanya akan menyusahkan bahkan bisa menjerumuskan dan menghancurkan hidup Anda.

Coba bandingkan dengan kehidupan mas Saat, sahabat saya dari Wonosobo. Ketika bisnisnya BMT Tamzis membuka cabang di Jakarta, ia santai saja tidur di kantor bersama karyawan yang lain. Setiap Jumat sore pulang ke Wonosobo menggunakan bus.

Ia konsisten menjalankan prinsip bisnisnya: memindahkan perputaran uang di Jakarta ke Wonosobo, agar bisnis di kampung halamannya itu hidup. Sementara gaya hidupnya tetap sederhana, walau sudah “menjakarta”.

Sabtu, 30 Juni 2011, saya berkesempatan ke Wonosobo memberikan seminar dari buku ketiga saya: Tuhan Inilah Proposal Hidupku. Sahabat saya itu, walau bukan panitia, menyediakan waktu menjemput saya ke hotel untuk sarapan di kantornya.

Dari lantai 5 kantor yang kini sudah menjadi milik BMT Tamzis saya bisa melihat pemandangan indah kota Wonosobo. Ketika saya bertanya berapa aset BMT Tamzis, dia menjawab ringan “Ya, dua ratusan milyar, mas.”

Usai acara, saya dijamu lagi oleh mas Saat dan teman-teman BMT di Wonosobo. Dengan menggunakan mobil yang tidak jauh beda dengan lelaki yang punya hutang Rp 40 juta tadi saya diajak jalan-jalan sambil menikmati mie ongklok, makanan khas Wonosobo.

Kami makan di warung kecil yang sederhana. Bukan hanya mie-nya yang nikmat, suasana ngobrol dan gaya hidup mas Saat menambah nikmatnya makan siang ketika itu. Bersama mas Saat saya menghabiskan 3 mangkuk mie ongklok.

Ketika saya pamitan hendak menuju Purworejo, mas Saat berkata, “Nanti mas Jamil lewat pasar Kertek, di sebelah kiri ada toko busana Merah Putih, itu usaha keluarga saya. Silahkan kalau mau mampir.”

Sayang saya tidak sempat mampir karena harus buru-buru ke acara lain di Purworejo. Namun saya sempat melewati toko busana yang ternyata sangat besar.

Melihat toko yang besar itu saya berkomentar, “Wih, pasti omzetnya ratusan juta setiap bulannya.” Komentar saya tersebut diaminkan oleh orang yang ditugaskan mengantakan saya ke Purworejo.

Mas Saat telah mengajarkan kepada saya bahwa hidup sederhana itu ternyata membahagiakan. Rasa kagumku semakin menjadi kepada sahabatku yang bersahaja ini.

Seharusnya, batin saya, lelaki yang punya hutang Rp40 juta tadi meniru gaya hidup Insinyur yang bernama lengkap Saat Suharto Amjad ini.

******
Essai dicaplok dari tukang tabur inspirasi se indonesia raya : Mas Jamil Azzaini, judul direparasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar