Kamis, 28 Juli 2011

Tangan Yang Tak Akan Pernah Disentuh Api Neraka Selamanya

Barang siapa yang berusaha untuk sabar, maka Allah akan menjadikannya mampu bersabar. Tidak ada pemberian yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran. (Mutafaq 'alaih)

Tahun 2010.
Seribu lima ratus rupiah.

Tiga ya pak. Dan saya mengeluarkan uang lima ribu rupiah untuk membayar tiga bungkus keripik itu. Tangan si bapak kurus, tulang dibalut kulit dengan urat dan keriput yang menggelambir dari siku sampai pergelangan tangan. Tangan itu menyerahkan tiga bungkus keripik dan kembalian satu keping koin lima ratusan yang langsung ku tolak.. buat bapak aja-lah.. Lalu saya masuk ke rumah dan bapak itu pergi.


Lima kilometer.

Kira-kira segitu jarak yang ditempuh bapak tua renta penjaja keripik, dari rumah yang ada di kampung hingga ke rumah-rumah wilayah perkotaan Surakarta. Melewati jalan-jalan kecil di setiap sudut perumahan, dijajakan satu per satu dari rumah ke rumah. Bukan dengan sepeda motor, bukan dengan sepeda, bukan pula dengan jalan kaki. Tapi dengan kursi roda..

Tujuh puluh tahun.

Usia yang senja. Badannya rapuh tak terawat, wajahnya renta dengan rambut penuh uban, Kaki lelaki itu lumpuh dan badannya pun ringkih tergerus usia. Susah payah lelaki tua itu mengayunkan roda kursinya ayun demi ayun mengayuh jarak 5 kilometer pulang pergi, seolah menafikan tenaga tangannya yang sudah tak mudah lagi. Dagangannya hanyalah keripik kacang, itu juga tidak banyak, hanya sebanyak 1 kardus bekas indomie, paling cuma muat 40 bungkus. Itu juga kalau terjual habis pria renta itu cuma dapat Rp.20.000,-. "Lebih sering tidak habis." Cerita bapak itu kepada saya suatu kala.

Tujuh jam.

Setiap hari tanpa hari libur. Dari pukul sembilan pagi hingga pukul empat sore kata beliau. Solo adalah kota dengan cuaca yang panas, mataharinya terik! "Kalau hujan, ya kehujanan mas, payung saya tidak punya." Ya, saya mengerti, agak susah berteduh cepat-cepat kalau pakai kursi roda.

Jadi bapak ini setiap hari berkeliling kampung dengan kursi roda, menjajakan keripik seharian, kadang dagangannya pun tidak habis dan harus bisa menghidupi dirinya dan keluarganya dengan hasil jualan yang hanya 10.000 s/d 20.000 rupiah setiap hari. Miris nian..!

"Masih menyimak?"

Oh..Kalau begitu terimakasih. Mari menyimak kata-kata yang tak pernah saya sangka akan keluar dari lisan lelaki tua itu ketika suatu ketika saya iseng bertanya,"Pak, kok mau susah-susah begini jualan keliling, kenapa ngga minta sedekah aja?"

Pria itu menjawab,"Mboten mas, wong niki tasih diparingi prakusa kalihan Gusti Pengeran. Nggih upami kulo tasih gadah kakuwatan, kula mboten purun ngemis, luwih becik nyambut damel, tasyakur dening Gusti saget nyambut rezeki halal mbasi caranipun ngoten niki."

Sebentar.. tak perlu membuka kamus terjemahan bahasa Jawa atau ensiklopedia Jawa. Begini kira-kira terjemahannya:

"Tidak mas, orang saya ini masih dikasih kebisaan oleh Allah. ya kalau sekiranya saya masih punya kekuatan, saya nggak mau meminta-minta, lebih pilih kerja mas. Bersyukur kepada Allah mas, masih bisa mencari rezeki halal walaupun harus susah payah begini."

Terkesan saya dengan jawaban pak tua. Di zaman yang nuansa spiritualnya hampir habis terkikis hegemoni pemikiran dan kebudayaan barat, Keshalihan dengan sikap sabar dan penuh syukur kepada Allah masih bisa dipegang kuat.

Salut!

Seorang kenalan berkata,"Kalau begitu keshalihan identik dengan kebodohan!"

Bagaimana bisa?

Jawabnya,"Begini, orang shalih sering memilih pilihan yang berat dengan dalih keridhaan Allah, sedangkan kita diberi keringanan untuk memilih yang ringan."

"Berarti pak tua itu harus memilih untuk mengemis dan meminta-minta?" tanya saya?

"Selama itu halal, no problem kan?"

Saya diam saja, berfikir apakah saya harus mendebat pemikiran kolot seorang kenalan yang punya cara berpikir pragmatis.

-----

1400 tahun yang lalu.

Ketika Baginda Nabi Muhammad SAW berpapasan dengan seorang tukang batu yang bertangan kasar karena pekerjaannya, tukang batu itu menghampiri Nabi dan hendak mencium tangan beliau.

Tapi tak disangka, Nabi menolak tangannya dicium oleh lelaki itu, justru sebaliknya, Nabi meraih tangan tukang batu itu dan menciumnya. Tanya Nabi,"Kenapa tanganmu kasar sekali?” Lelaki itu menjawab, “Ya Rasulullah, kerjaan saya ini membelah batu setiap hari, belahan batu itu saya jual ke pasar, lalu hasilnya saya gunakan untuk memberi nafkah kepada keluarga saya, karena itulah tangan saya kasar.”

Lalu Nabi menjawab,"Hadzihi yadun la tamatsaha naarun abada
'Iinilah tangan yang tak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya‘.

-----

Tahun 2011

Mungkin seandainya Baginda Nabi masih hidup dan bertemu pak tua lumpuh ini, Nabi akan menghampiri dan mencium tangan pak tua ini dan berkata,"Inilah tangan yang tak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar